Maqashid syariah adalah maksud atau tujuan Syari’ (Allah SWT) yang menurunkan syariat-Nya yang rahmatan lil’alamin kepada manusia. Allah SWT menurunkan syariat kepada umat manusia bukan tanpa tujuan tertentu. Tujuan diturunkan syariat ialah untuk memberikan kemaslahatan (mashlahah) kepada umat manusia dan menghindari dari hal-hal yang tidak baik (mafsadah). Kemaslahatan inilah yang menjadi kunci dan sekaligus tujuan syariat (maqashid syariah) baik yang bersifat duniwi maupun ukhrawi. Disamping itu, ajaran Islam bersifat universal sehingga dapat diterapkan dalam berbagai sendi kehidupan (Siawantoro (2017:64).
Al-Qur’an adalah dasar utama syariah dan sebagai kitab yang menjadi “the way of life” (jalan hidup) umat manusia sepanjang masa untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Islam mengenai kemaslahatan secara garis besarnya telah tercantum dalam kitab suci al-Qur’an. Semua aturan hukum Allah SWT yang disyariatkan mempunyai tujuan. Dalam pandangan Syatibi bahwa hukum yang tidak mempunyai tujuan itu sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan dan itu suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Allah SWT. Menurut Imam Al-Ghazali tujuan syariah mempunyai makna yang terkait dengan asas manfaat (mashlahah) yang meliputi aspek untuk melindungi agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Apabila lima hal tersebut dapat dilindungi maka kehidupan sosial dan ekonomi umat manusia dapat lebih baik (P3EI, 200: 5; Siswantoro, 2017: 64).
Makna tersebut dapat dipahami bahwa manfaat dalam kategori mashlahah adalah manfaat yang dikehendaki Allah SWT. Sedangkan manfaat yang dikehendaki manusia belum tentu mendatangkan mashlahah, karena bisa jadi manfaat tersebut hanya menuruti hawa nafsu belaka. Jika manfaat itu dikehendaki Allah SWT maka sudah pasti manfaat itu mengantarkan kepada mashlahah. Manfaat tersebut adalah maqashid syariah (tujuan syariah) yang meliputi pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia (Siswantoro, 2017: 64). Kemaslahatan bisa dicapai apabila dapat memelihara kelima unsur pokok (ushul al-khamsah). Sebaliknya akan ada kerusakan (mafsadah) apabila tidak dapat memelihara kelima unsur pokok tersebut dengan baik. Kemudian upaya memelihara dan mewujudkan ushul al-khamsah dalam aplikasi penetapan hukum, Syatibi membagi kepada tiga tingkatan, yaitu maqashid dharuriyyah, maqashid al-hajiyyah, dan maqashid al-tahsiniyyah.
Penetapan tiga tingkatan ini oleh Syatibi berdasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritas (aulawiyat). Maqashid dharuriyat menempati peringkat pertama, disusul oleh maqashid al-hajiyat dengan menempati peringkat kedua, dan pada peringkat ketiga disusul maqashid al-tahsiniyat (Siswantoro, 2017:68-69). Ketiga tingkatan maqashid yang dimaksudkan diatas pada hakikat untuk memelihara dan merealisir kelima unsur pokok (ushul al-khamsah) dalam kehidupan, yang merupakan kebutuhan mendasar manusia, hanya saja satu sama lain berbeda tingkatan dan skala prioritasnya.
Dengan demikian, maqashid syariahadalah upaya untuk menjaga harmonisasi, berkesinambungan dan saling berintegrasi, atau saling mengisi antara kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia (Siswantoro, 2017:68). Pemantapkan dalam perlindungan dari kerusakan (mafsadah) yang berimplikasi kepada lima unsur pokok (ushul al-khamsah) merupakan kemaslahatan yang dikehendaki oleh masyarakat pada umumnya. Begitu pula kewajiban pajak khususnya pajak kharaj pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA merupakan sebagai sesuatu ketetapan hukum Allah SWT dan aturan perundang-undangan Negara yang mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, memerangi ketidakadilan dan menjalankan pembangunan ekonomi (Nurul Huda, dkk, 2012:73).
Dalam menetapkan pajak kharaj mempunyai tujuan tersendiri yaitu untuk menjaga stabilatas perekonomia Negara dan agar harta beredar di kalangan orang-orang tertentu saja seperti yang dijelaskan dalam Surat Al-Hasyr ayat 7. Umar menginginkan harta tersebut bias digunakan untuk kepentingan umat islam dan bermanfaat untuk semuanya. Salah satu bentuk yang memberikan manfaat adalah memungut pajak kharaj yang sudah dikelola untuk dijadikan sebagai pemasukan Negara. Dengan demikian, manfaat dari tanah tersebut bisa dirasakan secara merata dari generasi ke generasi. Inilah kebijakan yang diambil oleh Umar dengan mempertimbangkan maqashid syariah (Budi Santosa, 2015: 120).
Kebijakan yang diambil Umar bin Khatab ini kemudian dijadikan oleh Abu Yusuf sebagai saran kepada khalifah Harun Ar-Rasyid dalam membuat kebijakan pajak kharaj (Budi Santosa, 2015: 119). Selanjutnya Abu Yusuf (1979), memberikan komentar terhadap kebijakan yang diambil oleh Umar sebagai berikut: “kebijakan yang diambil Umar bin Khatab dengan tidak membagi tanah-tanah kepada pasukan yang menakhlukanya adalah apa yang direalisasikannya. Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada Umar bin Khatab melalui al-Quran dengan penjelasanya sebagai anugerah dari-Nya.
Dengan kebijakan tersebut maka kebaikan berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Adapun kebijakannya mengenai pengumpulan pajak dan pembagiannya kepada kaum muslimin, maka akan mendatangkan manfaat secara umum kepada masyarakat”. Berdasarkan pernyataan Abu Yusuf diatas, dapat dipahami bahwa tujuan utama menerapkan pungutan pajak kharaj adalah untuk mendatangkan manfaat kepada masyarakat. Jika tujuan utama pungutan pajak tanah (kharaj) untuk memberi manfaat untuk masyarakat, maka pajak kharaj diharapkan bisa mendatangkan kenikmatan kepada seluruh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Kenikmatan secara langsung seperti pembangunan jalan umum, penerangan jalan, pembangunan rumah ibadah, rumah sakit, gedung sekolah dan infrasturktur lainnya.
Sedangkan kenikmatan yang tidak langsung, seperti terjaminya keamanan bagi setiap warga masyarakat (Budi Santosa, 2015: 122). Di Indonesia istilah kharaj di kalangan umat Islam tidak begitu popular. Istilah pajak terhadap tanah dikenal dengan istilah PBB (pajak bumi dan bangunan). Antara pajak kharaj dengan Pajak Bumi Bangunan (PBB) secara eksplisit tidak sama. Tapi kalau dilihat dari segi objeknya, baik itu PBB maupun pajak kharaj memiliki objek yang sama yaitu tanah. Namun pada PBB objeknya ditambah dengan bangunan. Dalam kharaj, pajak dipungut dengan memerhatikan faktor kesuburan tanah, jenis tanaman yang dihasilkan dan pengairan tanah. Sedangkan dalam PBB pajak terhadap tanah dan bangunan tidak memerhatikan faktor-faktor tersebut, yang penting setiap tanah dan bangunan hak milik dikenakan pajak pertahun (Nurul Huda dkk., 2012: 133).
Kebijakan PBB dewasa ini secara tidak langsung terdapat konsep maqashid syariah dalam pungutannya begitu jugan dengan pendistribusiannya. Kalau dilihat penerimaan pajak kharaj pada masa Umar bertujuan untuk pemerataan dalam pendistribusian kharaj dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat demi tercapai maksud syariah (maqashid syariah). Begitu juga dengan PBB disatukan dengan sumber penerimaan negara lainnya. Dan hasil tersebut digunakan untuk proses pembangunan baik pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, gedung, rumah sakit dan sekolah. Dan juga digunakan untuk pembangunan non fisik seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan dan lainnya yang tujuannya berperan penting bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
sumber : https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=EeAa5C4AAAAJ&citation_for_view=EeAa5C4AAAAJ:qjMakFHDy7sC
Beri Komentar